Jumat, 22 Mei 2009

Menggambar Indonesia

UIN Sunan Kalijaga. 15 Mei 2009.Pk 09.00 pagi. Diskusi Mahasiswa tentang Pilpres. DPP. Demokrat. Golkar. PDIP. PKS.

Dimulailah opera sabun. Tentang mimpi. Demokrasi. DPT. KPU. MK. Suara. Rakyat. Indonesia.
Saya. Muntah. Muak.

Masturbasi demokrasi. Tak ada dari rakyat untuk rakyat. Siapa rakyat? Rakyat yang disumpal dengan lembaran rupiah fiat money. Yang ada hanya kepentingan untuk kekuasaan.

Onani politik. Akrobat istilah menggaet suara. Janji yang tak kunjung ditepati. Demokrasi yang belum memperbaiki ekonomi. Ada partai yang marah karena kursi wakil tak diberi.

Kita semua ingin menggambar Indonesia.
Tahun ini. Kita memilih cat. Warna. Komposisi air dan minyak. Warna biru mendominasi.
Sebentar lagi kita akan memilih kuas. Kuas akan menggambar kanvas kosong Indonesia.
Indonesia seperti apa?

Apakah nanti Indonesia bergambar dua buah gunung. Dengan jalan di tengah. Sawah terhampar. Matahari menyembul. Ada aroma sawah disana. Pak tani yang tersenyum. Terberkatilah wahai engkau Pak Tani. Karena bisa menjadi saksi keagungan Tuhan setiap hari. Desa. Desa Indonesia. Indonesia yang menyerupai desa-desa di Indonesia.

Atau mungkin Indonesia bergambar gedung-gedung tinggi. Dengan lalu lintas padat. Awan hitam kelam. Dengan spanduk dan billboard produk rokok sampai pembalut. Dengan wi-max. Brosur penawaran investasi keuangan tingkat tinggi dengan jutaan produk derivasi. Modern. Kosmopolit. Global. Indonesia yang seperti kota-kota dunia yang ada di Indonesia.

Menggambar Indonesia tidak cukup dengan memilih cat, kanvas, dan kuas. Diperlukan kerja keras. Coba perhatikan sebuah garis. Garis adalah gabungan titik-titik kecil. Menyatu dan menyimpul. DItambah kohesi dan gradasi warna. Juga ada guratan, noda, atau percikan cat yang menyimprat. Caur. Chaos. Kubis. Ekspresionis. Posmodernis. Estetis.

Dibutuhkan semangat untuk menggambar Indonesia. Semangat kerja. kerja. kerja. Indonesia hanya dapat digambar dengan kuas kerja keras, kanvas hati ikhlas, cat minyak tanpa rasa tamak. Indonesia hanya dapat digambar oleh tangan-tangan Indonesia. Bukan Amerika atau Bank Dunia. Marilah berdoa, semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada Indonesia untuk menggambar masa depan.

Seminar itu memberiku pelajaran hari ini. Dalam hati, kuberkata: Akan kugambar Indonesia dengan caraku sendiri

Kamis, 08 Januari 2009

Optimalisasi Asuransi Pekerja

  Krisis financial yang terjadi di Amerika Serikat mulai memakan korban. Turunnya permintaan, membuat pasar menjadi lesu, produsen pun menjerit. Ini yang dialami perusahaan di Indonesia yang terancam melakukan perumahan dan PHK terhadap sekitar 12.000 pekerjanya. Kabar buruk ini menjadi semakin memperparah keadaan perekonomian dan tata social bangsa Indonesia. Tingkat pengangguran tinggi, inflasi, dan ancaman kemiskinan semakin menjadi-jadi.  Ketika terjadi PHK seringkali pekerja berada pada pihak yang lemah. Pekerja tak bisa menuntut perusahaan untuk tetap mempekerjakan mereka. Kekalahan bargaining power. Kekuasaan ada di perusahaan. Mereka menghadapi dilema karena tindakan anarkis, demonstrasi, atau tuntutan kepada dinas tenaga kerja seringkali berbuah nihil. Sedangkan perut keluarga mereka perlu diisi. Jika sudah gelap mata, bisa-bisa pekerja yang frustasi terjerumus dalam dunia criminal. Untuk itulah diperlukan asuransi pekerja. Di Negara-negara maju, ketika perusahaan melakukan pemutusan kerja, premi dari asuransi pekerja dapat menutupi biaya hidup mereka sampai mereka mendapatkan pekerjaan lain. Seperti dana pensiun PNS, asuransi pekerja jika dikelola secara professional dapat menjadi parasut di tengah ketidakpastian sumber pendapatan hidup.
  Mari berhitung. Dengan asumsi jumlah pekerja yang terkena PHK sebesar 12.000 orang dengan masa kerja 5 tahun, biaya asuransi Rp.100.000/bulan, return investasi 7% saja/tahun, maka didapatkan dana asuransi pekerja sebesar Rp.82.810.641.744 !!! Jika biaya uang ini dipakai untuk membiayai 12.000 pekerja dengan biaya hidup Rp.1.000.000/bulan maka akan cukup hingga 7 bulan!!! Waktu yang cukup bagi pekerja untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan baru. 
  Sayangnya, masih kurangnya kesadaran dari perusahaan dan pekerja untuk memiliki asuransi pekerja. Perusahaan masih menganggap asuransi pekerja sebagai biaya yang tidak perlu dikeluarkan. Ini terjadi karena perusahaan masih memandang pekerja sebagai element biaya, dan jarang melihatnya sebagai instrument investasi perusahaan. Konsep ekonomi social perlu dikembangkan. Pekerja harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari perusahaan.
  Sementara pekerja juga tidak sadar akan hak-hak yang sebenarnya mereka miliki. Termarjinalisasi secara informasi dan hakiki. Mereka takkan berani menuntut adanya asuransi pekerja. Rasionalisasi biaya dan ancaman pemecatan sering membuat pekerja enggan mengusulkan asuransi pekerja ke pihak manajemen perusahaan. Disini peran serikat buruh diperlukan untuk mensosialisasikan peran asuransi pekerja. Tak mengapa jika sedikit gaji pekerja dipotong untuk asuransi, toh mereka dapat menikmatinya ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
  Pengelolaan asuransi pekerja yang ada juga masih kurang lengkap. Asuransi hanya diklaim jika terjadi kecelakaan atau pekerja meninggal dunia. Belum dikembangkan asuransi untuk biaya hidup jika terkena PHK. Padahal ketidakpastian biaya hidup ini yang menghantui pekerja jika terkena PHK. 
  Untuk menjembatani permasalahan ini, diperlukan peran pemerintah (Depnakertrans). Pemerintah dapat mewajibkan setiap perusahaan untuk mendaftarkan asuransi pekerja kepada pekerja mereka. Pemerintah juga dapat memberikan insentif berupa pengurangan pajak bagi perusahaan yang memberikan asuransi bagi pekerjanya. Terakhir, sosialisasi dan advokasi mutlak dilakukan agar pekerja sadar dan dapat melindungi hak-hak hidupnya. Terutama jika terjadi ancaman PHK seperti saat ini.